Pro dan Kontra Mengenai MLM
Suatu hari saya diundang menjadi pembicara dalam sebuah seminar di Medan. Seminar bertema Mengurai Kontroversi Bisnis MLM itu kemudian secara alami membagi pembicara dalam dua kelompok. Yang pertama, pembicara yang pro terhadap MLM dan kedua yang kontra. Kelompok pertama berpendapat bahwa MLM tidak dapat digeneralisir, ada yang halal, ada yang haram.
Sedangkan kelompok kedua berpendapat semua MLM haram. Yang menarik adalah tidak ada kelompok ketiga yang berpendapat bahwa semua MLM halal.
Pesan yang ingin saya sampaikan adalah, terlepas dari pro-kontra yang terjadi, setiap muslim yang terjun ke dalam bisnis MLM harus mempelajari mengenai status hukum MLM dalam pandangan Islam. Mengapa? Agar rezeki yang diperoleh lewat bisnis MLM ini halal dan baik (halalan thayyiban). Pengetahuan ini juga akan menambah motivasi dan kemampuan saat menjawab respon negatif sebagian orang terhadap MLM.
Saya termasuk sebagai pembicara pada kelompok pertama. Ada MLM konvensional, ada MLM Syariah. Ada MLM yang halal dan yang haram. Dari seminar tersebut, ada beberapa hal yang saya peroleh dan ingin saya sampaikan :
Penelitian yang dilakukan oleh kelompok kedua, menurut saya wallahu a’lam, adalah penelitian yang kurang valid. Alasan saya karena penelitian yang dilakukan tidak mewakili semua MLM.
Di Indonesia saat ini diperkirakan ada sekitar 600 MLM, dan 60 di antaranya sudah tergabung dalam APLI. Sementara yang menjadi sampel dalam penelitian-penelitian tentang MLM tidak mencapai 5% dari keseluruhan MLM yang ada. Narasumber tersebut tidak menjelaskan secara pasti berapa jumlah perusahaan MLM yang telah diteliti.
Ada sebuah buku yang pernah saya baca dan menyatakan bahwa semua MLM adalah haram. Setelah saya cermati, jumlah sampel atau perusahan yang diteliti ternyata tidak lebih dari 5 perusahaan, dan pemilihan sampelnya pun tidak representatif. Sang peneliti tidak memilih dan membandingkan beberapa MLM yang tidak sejenis, misalnya yang bersertifikasi syariah dengan yang tidak mendapat sertifikasi syariah, yang tergabung dengan APLI dengan yang tidak terrgabung, yang memiliki izin SIUPL dan yang tidak memiliki SIUPL, dst.
Karena itulah maka menurut pendapat saya hasil penelitian yang demikian tidaklah valid. Jika kita ingin mengambil kesimpulan tentang sebuah penelitian yang menyatakan sebuah MLM itu halal atau haram, maka sebaiknya mempertimbangkan sampel (perusahaan MLM) yang dipilih, metode apa yang digunakan dan dari sisi mana ia menilai.
Metode bisnis dan jual beli dalam masyarakat selalu mengalami perubahan. Dahulu masyarakat melakukan jual beli dengan cara barter, kemudian menggunakan alat tukar, semula adalah emas dan perak (dinar dan dirham) saat ini berkembang dengan penggunaan cek, kartu kredit, kartu debit, dll.
Para ulama semula berpendapat bahwa suatu akad harus berada dalam satu majelis atau face to face. Di masa kini sistem jual beli telah mengalami banyak perubahan dari face to face menjadi cash on delivery, online shopping , future trading, dsb. Meskipun hukum dasar jual beli dalam islam adalah mubah/halal, saya kira gegabah jika ada yang mengatakan bahwa semua bentuk jual beli yang ada sekarang ini adalah halal atau mubah.
Begitu pula dengan penelitian terhadap MLM, boleh jadi hasil penelitian itu valid pada proses dan masanya. Namun sistem pemasaran berjenjang mengalami perubahan dan inovasi. Setiap perusahaan memiliki marketing plan berbeda. Dengan banyaknya perusahaan MLM yang ada saat ini, seiring inovasi dan perkembangan teknologi, maka hukum MLM tidaklah sama antara satu sistem dengan yang lain, antara satu perusahaan dengan perusahaan lain.
MLM adalah salah satu cara berjualan. Sesuai hukum dasarnya, berjualan merupakan sesuatu yg mubah atau halal. Setelah dilakukan inovasi-inovasi maka tidak semua jual beli itu halal, dan tidak semua MLM itu haram.
Dalam terminologi ahli fiqh dikenal istilah ijtihad. Islam sangat menghargai sebuah ijtihad yang dilakukan oleh seorang yang kompeten dan capable. Rasulullah SAW menjelaskan apabila seorang hakim berijtihad dan hasilnya benar maka ia mendapatkan dua pahala, namun jika salah ia mendapatkan satu pahala.
MLM adalah sebuah cara baru dalam berjualan yang belum dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Oleh karenanya para ulama berijtihad. Dari hasil ijtihad didapatkan kesimpulan yang dapat diterima dalam Islam. Orang boleh berbeda pendapat mengenai hukum MLM, tetapi jika sampai menganggap orang lain yang berbeda pendapat itu sesat, maka sikap atau pendapat ini tidak dibenarkan dalam ajaran islam.
Hal ini seperti halnya larangan Rasulullah SAW terhadap seorang muslim yang mengkafirkan muslim yang lain.
Pendapat seorang peneliti yang sedang berupayamemperoleh gelar tertentu, kemudian menyatakan bahwa semua MLM itu haram adalah sebuah ijtihad individu, yang mungkin benar dan mungkin juga salah. Saya tidak ingin menyalahkan hasil ijtihad tersebut. Tetapi kita sudah tahu bahwa ada hasil ijtihad lain, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). DSN MUI ini terdiri dari beberapa doktor, ulama dan ahli-ahli ekonomi, mereka telah melakukan ijtihad bersama yang menghasilkan fatwa No. 75 tahun 2009.
Fatwa tersebut menjelaskan bahwa MLM dapat dikatakan halal jika memenuhi 12 persyaratan. Saya telah menulis artikel khusus yang menjelaskan fatwa tersebut. Saya mengikuti ulama lain yang berpendapat bahwa ijtihad jamai lebih kuat daripada ijtihad fardi atau individu. Ijtihad yang dilakukan bersama oleh doktor dan ulama di DSN MUI menghasilkan kesimpulan yang lebih baik daripada ijtihad yang dilakukan oleh seorang doktor atau profesor sekalipun jika dilakukan secara individual. Ijtihad jamai lebih afdzol daripada ijtihad fardi.
Wallahu a’lam bish showab ( H.M. Sofwan Jauhari, M. Ag.)