Filosofi Dalam Sebuah Gelas
Banyak saya temui beberapa orang kelelahan menghadapi kondisi ekonomi yang naik turun, apalagi akhir-akhir ini kondisi perekonomian global dan nasional memang sedang lesu. Banyak yang putus asa dan mulai kembali dalam kehidupan lama dimana sesungguhnya impiannya tidak dapat diwujudkan di sana. Mereka mengeluhkan banyak masalah menjadi serasa berat untuk berjuang.
Sesungguhnya perjuangannya tidak berat sama seperti dulu, namun hatilah yang merasakannya berat. Di edisi istimewa ini saya akan menyampaikan dua kisah menarik antara guru dan murid berkaitan dengan gelas yang sering disampaikan dan ditulis dalam artikel-artikel motivasi.
Kisah Pertama
Kisah pertama tentang berat satu gelas. Suatu hari dalam sebuah kuliah tentang manajemen stres, sang guru bernama Stephen Covey (penulis buku laris dari Amerika), mengangkat segelas air dan bertanya kepada murid-muridnya, “Berapa berat gelas air ini?”
Para muridnya menjawab angka kisaran antara 200 gram sampai 500 gram. Covey menjawab, “Ini bukan masalah berat absolutnya, namun tergantung dari berapa lama Anda memegangnya.” “Jika saya memegangnya selama 1 menit, tidak ada masalah. Jika saya memegangnya dalam 1 jam, lengan kanan saya akan sakit. Dan jika saya memegangnya 1 hari penuh maka mungkin Anda perlu memanggil ambulan untuk saya.”
“Beratnya sebenarnya sama, tapi faktor waktu menentukan sejauh mana kita mampu menanggungnya. Semakin lama saya memegangnya, maka bebannya akan semakin berat Jika kita membawa beban terus menerus, lambat laun kita akan sampai di titik dimana kita tidak mampu lagi membawanya. Beban itu akan meningkat beratnya berbanding lurus dengan waktu,” lanjut Covey.
Kisah Kedua
Kisah yang kedua adalah tentang jangan menjadi gelas. Suatu hari ketika pelajaran sudah selesai, seorang guru bijak mendatangi muridnya yang wajahnya kelihatan selalu murung.
“Mengapa engkau selalu murung Nak? Bukankah banyak hal yang indah dalam dunia ini, kemana wajah bersyukurmu?” Sang guru bertanya. “Belakangan ini hidup saya susah Pak, apa yang saya kerjakan selalu gagal dan kondisi saya terpuruk sekarang. Masalah datang sepertinya tidak pernah habis,” keluh sang murid.
Sang guru tersenyum dengan bijak dan berkata, “Coba ke dapur sekolah dan ambil segelas air beserta dua genggam garam. Bawalah kemari dan saya akan perbaiki suasana hatimu.” Kemudian setelah diambilnya apa yang diminta, berkatalah lagi sang guru, “Taruhlah segenggam garam ke dalam segelas air, dan minumlah.” Sang murid pun melakukannya, dan setelah meminum seteguk wajahnya meringis keasinan.
“Bagaimana rasanya?” tanya guru. “Asin dan perut saya mual,” jawab murid sambil tetap meringis. “Mari ikut saya,” ajak sang guru menuju ke danau yang jernih di belakang sekolah. “Nah sekarang sebarkan segenggam garam yang kau bawa itu ke dalam danau, dan minum airnya,” suruh sang guru. Begitu murid itu melakukan semua yang dikatakan gurunya, wajah murungnya sudah hilang. Gurunya bertanya, “Apa rasanya?” Muridnya dengan wajah tersenyum, “Segar sekali Guru, tidak ada rasa asin.”
“Itulah kehidupan, semua yang diizinkan Tuhan untuk kita alami pasti ada tujuannya untuk menjadi pelajaran sehingga kita menjadi manusia yang lebih baik. Beban itu semuanya sudah ditakar dan tidak akan melebihi kemampuanmu dalam menanggungnya,” sang Guru menjelaskan. Sang murid terdiam dan merenung. Kemudian sang guru meneruskan penjelasannya, “Rasa asin yang mencerminkan penderitaan dan rasa berat beban yang engkau pikul tergantung dari besarnya hati yang menampungnya. Jadi supaya tidak merasa menderita berhentilah menjadi gelas. Perluaslah hatimu menjadi danau yang besar.”
Dari dua kisah di atas dapat diambil pelajaran bahwa jika kita selama ini merasa berat, mungkin kita terus menanggung beban yang walaupun kecil tapi tidak kita lepaskan sehingga semakin lama semakin berat. Mulailah belajar memaafkan dan mengampuni, ingat bahwa kita pun banyak melakukan kesalahan. Gunakan prinsip tiga pedal, yaitu maafkan, lupakan dan move on.
Mungkin selama ini kita selalu menuntut orang ataupun kondisi seperti yang kita mau, dan seringnya kita kecewa. Ingat bahwa semuanya itu diizinkan Tuhan untuk kita alami tidak melebihi takaran kita. Perluas hati kita. Caranya dengan bersyukur. Karena apapun yang kelihatan buruk sekarang ini, jika kita tidak berhenti berjuang, suatu saat kita akan mampu melihat bahwa ada rencana yang indah di balik itu semua.
“Lepaskan beban yang tidak perlu, perluas hati kita dengan bersyukur, teruskan perjuangan Anda maka semuanya indah pada waktunya” (Djoko H. Komara)